Blogger Widgets
Sholallahu ala muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala muhammad "INCOME 1 MILYAR PER BULAN" Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala Muhammad Sholallahu ala muhammad Sholallahu ala muhammad

Tuesday, December 31, 2013

HADITS SHALAT ARBA'IN

HADITS SHALAT ARBA'IN


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : ‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali ‘Abdurrahman bin Abir Rijal. 

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3] 

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5] 

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” [9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”....dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik”. Sedangkan dalam riwayat Ibn ‘Adi dijelaskan bahwa Habib itu adalah orang yang dijuluki al-Hadzdza’. Adapun riwayat Bahsyal dan al-Baihaqiy, disebutkan, “......dari Habib, dari Anas Radhiyallahu anhu”, tanpa menjelaskan nasab perawi yang bernama Habib tersebut.

Redaksi (matn) dari riwayat ini semuanya hampir sama, namun yang harus diperhatikan, dalam riwayat ini tidak ada pengkhususan tempat. Ini berbeda dengan redaksi hadits di atas yang menyebutkan tempat khusus yaitu di masjid Nabawi saja. Redaksinya adalah sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى آللَّهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ ال

No comments:

Post a Comment