Revolusi Sebatang Jera = Revolusi Pertanian
Orang Jepang ini mengurai batang-batang jerami di atas lahan di mana padi sebelumnya sudah ditebarkan. Dari situ ia meletuskan sebuah revolusi. Bukan Revolusi Hijau, melainkan revolusi jerami.
Pertanian di Jepang, tak ubahnya di Indonesia, sulit berkelit dari jangkauan tangan-tangan modal yang bertopeng lembaga pangan dunia, Food and Agriculture Organization (Indonesia digenggam lewat International Rice Research Institute yang berkedudukan di Filipina). Bagi FAO, sebagaimana diungkap oleh Dirjen Dr. Jacques Diouf, baru-baru ini, “Tantangan bagi ketahanan pangan hanya bisa diatasi lewat kerjasama global yang melibatkan sektor-sektor nasional, internasional, umum, swasta, dan sukarelawan.” Sayangnya, penyelesaian yang dimaksud adalah penandatanganan semacam kontrak bagi hampir setiap negara untuk, salah satunya, menyerahkan segenap plasma nuftah mereka demi rekayasa genetika yang bertujuan pada ‘penyempurnaan’ benih. Kelak, benih-benih unggul dipasarkan, beserta pupuknya, sehingga tanaman-tanaman lokal tak lagi mudah ditemukan. Tanah menjadi keras dan mati. Pertanian kimiawi mantap menggeser pertanian alami.
Fukuoka tegas menolak pertanian kimiawi. Masanobu Fukuoka, seorang Jepang bermahkotakan Ramon Magsaysay Award (1988) untuk Pengabdian Masyarakat ini, lahir di Shikoku, 2 Februari 1913. Fukuoka dikirim oleh sang ayah untuk mengenyam pendidikan tinggi di Kolese Pertanian Gifu, di jantung pulau Honshu. Di sini ia ditempa oleh Profesor Makoto Hiura, dan lulus pada tahun 1933 dengan menyandang gelar di bidang patologi tumbuhan. Atas saran mentornya, si anak kedua dari tujuh bersaudara meniti karirnya di Yokohama sebagai seorang mikrobiolog, dan bekerja sebagai seorang inspektur pabean pertanian. Di tempat ini ia menyesap pengalaman nyata tentang pertanian, untuk kemudian memawas garis hidupnya yang terkenal: manusia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang alam.
Pertanian bagi Fukuoka, dengan demikian, berarti usaha untuk mencoba mengenal serta memahami rahasia alam. Fukuoka memandang, sejak dahulu kala, tanaman tumbuh dengan sendirinya sebagai semacam anugerah dari dewa Okuninushino-mikoto yang berkeliling sembari memanggul karung berisi aneka benih untuk disebar. Alam yang tandus disembuhkan dengan taburan benih, dan dirawat oleh akar-akar yang tumbuh sesuai kodratnya. Tanpa campur tangan manusia, alam telah menunjukkan kebijaksanaannya sendiri. Fukuoka terkesima. Ia melihat sebersit hukum, yang lantas menjadi fondasi bangunan pemikirannya. Tanaman tumbuh sendiri, dan seharusnya tidak ditumbuhkan. Pada saat itulah ia menyangsikan kaidah ilmu pertanian modern yang lebih menitikberatkan pada intensifikasi, yang bertujuan akhir semata-mata pada hasil produksi (Revolusi Sebatang Jerami, Yayasan Obor Indonesia, 1991). Pupuk dan segala pestisida telah merusak tatanan ekosistem dan mengabaikan kesehatan tanah. Revolusi Hijau, dalam jangka panjang, malah memperburuk kualitas lahan.
Fukuoka lantas keluar dari pekerjaannya sebagai peneliti ahli, dan pulang ke kampung halamannya di Pulau Shikoku, di Jepang bagian selatan. Lelaki yang eksentrik namun arif ini bertekad mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengembangkan sistem pertanian organik. Bertani secara alami, bertani tanpa bekerja. “Saya hanya mengosongkan pikiran saya, dan berusaha menyerap apa saja sebanyak mungkin dari alam,” katanya merendah. Ia tahu bahwa lebih dari seribu tahun lampau, para petani Jepang tidak mengenal sistem membajak sawah. Teknik ini baru dikenal seiring dengan merangseknya modernisasi Barat yang melanda Jepang sejak awal Restorasi Meiji, pada permulaan 1980-an. Pertanian kimiawi menjadi marak (meskipun tidak gampang menyulih pola pertanian organik. Tercatat, sebagian Jepang masih memakai pola lama dalam pertanian sepanjang Zaman Meiji dan Taisho, 1868-1926, hingga akhir Perang Dunia II.). Begitu pula dengan berbagai macam hamanya.
Iming-iming percepatan masa panen, bibit unggul, serta hasil yang melimpah telah membuat para petani keblinger. Ritual yang diwariskan nenek moyang untuk bekerja dan memuliakan alam digeser oleh nilai-nilai pasar dan modal. Kapitalisme perlahan-lahan mencabut kearifan petani atas lahannya. Koeksistensi serta saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidupnya, mengutip Vandana Shiva, yang sebenarnya memelihara gemulainya tarian kesuburan dikacaukan oleh kepentingan kapitalisme. Negara (Indonesia, misalnya), dengan kebijakan pertanian yang pro-Barat, bermain di wilayah ini. Petani menjadi tidak berdaulat atas profesinya, plasma nuftah berangsur-angsur punah, dan pestisida serta insektisida menghancurkan tatanan ekosistem. Manusia meremukkan kuasa alam. “Kita tidak sedang meningkatkan kesuburan atau hasil produksi, namun hanya menunda kegagalan panen dengan menebar pupuk dan obat-obatan bikinan pabrik,” kata Fukuoka.
Secara sengaja, kearifan lokal dihancurkan oleh Revolusi Hijau. Petani menjadi ‘tukang tani’ di tanahnya sendiri. Tukang menyemprot pestisida, tukang menabur pupuk buatan pabrik, serta tukang menanam benih transgenik ‘ajaib’ yang dikeluarkan laboratorium. Segalanya harus dibeli, harus didapat dari luar ekosistem petani. Petani tidak lagi bercocok-tanam demi mencukupi kebutuhan subsistensinya, tetapi juga mesti memenuhi kebutuhan komoditi negara. Kapitalisme ditanamkan pelan-pelan, dan petani sekaligus menjadi lahan empuknya (Jess Prince, 2004).
Kondisi itulah yang ditemui Fukuoka manakala ia berkeputusan untuk berhenti dari pekerjaannya, untuk menggarap tanah orangtuanya. Lahan itu rusak, sementara berjenis-jenis hama menyerbu tanpa ampunan. Percaya bahwa manusia harus tunduk pada alam dan membiarkan hukum alam bekerja dengan sendirinya, Fukuoka minta izin pada ayahnya untuk merawat lahan dengan cara membiarkannya begitu saja. Ayahnya hanya tertawa geli. Si anak secara radikal mencoba merombak sistem yang sudah lama terbangun. Alhasil, serangga semakin ganas menyerang, dedaunan layu, dan akhirnya semua tanaman sekarat. “Kamu tidak bisa merombak teknik pertanian dengan segera, “ nasihat sang ayah, “tanaman yang sudah terolah itu tidak gampang beradaptasi.”
Itulah pelajaran pertama Fukuoka. Seraya belajar, Fukuoka lantas bekerja sebagai pengawas divisi pertanian ilmiah di The Khochi Prefecture Testing Station (Stasiun Pengujian Prefecture Kochi) untuk lima tahun ke depan. Sesungguhnya selama lima tahun tersebut, Fukuoka mengkaji secara mendalam hubungan antara pertanian ilmiah dan alami. Ada anggapan bahwa pertanian kimiawi lebih unggul dibanding pertanian alami. Dari sini Fukuoka bertanya-tanya, “Dapatkah pertanian alami berdiri sama tegak dengan pertanian modern?”
Ia kembali keluar dari pekerjaannya. Kali ini dengan tekad membaja dan pengetahuan setinggi Gunung Fuji: sekali lagi, manusia tidak tahu apa-apa. “Alam akan mengajari,” ujarnya yakin. Empat ratus batang jeruk yang sudah tertancap ia musnahkan. Pada musim gugur, Masanobu Fukuoka menabur benih padi, semanggi putih, dan biji-biji musim dingin di atas lahan-lahan yang sama dan menutupnya dengan lapisan tebal jerami padi. Gandum gerst dan gandum hitam serta semanggi tumbuh tegak, sementara biji-biji padi tetap terbengkelai sampai musim dingin. Gandum hitam dan gandum gerst dituai pada bulan Mei dan disebar di lapangan secara merata selama seminggu atau sepuluh hari biar kering. Kemudian dikirik dan ditampi, lalu dimasukkan ke dalam karung untuk disimpan. Jerami gandum lantas disebar tanpa dipotong-potong, sebagai mulsa (Revolusi Sebatang Jerami, 1991). Demikianlah, ia menunggu tumbuhnya padi.
Sekilas menganalisa keunggulan cara itu, semanggi putih berguna sebagai herbisida bagi gulma; mulsa bermanfaat untuk menahan air, kompos organik, dan sekaligus benteng penahan serbuan pipit. Gulma memang harus dipangkas ketika tanaman sedang dalam masa pertumbuhan. Tetapi, begitu tanaman beranjak dewasa, gulma dibiarkan saja tumbuh bersama padi-padian atau sayur-mayur. Toh, alam mengajarkan demikian pula. Cara ini tentu saja tidak sebegitu mudah diaplikasikan di setiap wilayah pertanian. Namun di Jepang yang beriklim basah dan curah hujannya bisa diandalkan, sang guru ini memantapkan keunggulan tekniknya.
Panennya melimpah, tanahnya semakin subur dari tahun ke tahun, ekosistem terjaga, dan ia dikenal sebagai pioner dari metode bertani tanpa mengolah tanah (kalau seluruh petani Indonesia mengikuti cara Fukuoka, Bulog tak perlu melempar gagasan impor beras!). “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen, melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia,” demikian ajaran Fukuoka. Dialah sejatinya ‘peasant’, kalau harus menyebut James Scott. Petani yang memuliakan alamnya. Petani yang menyerahkan hidupnya pada kuasa alam. Terang, angin, bumi, air, api, sebenarnya sudah cukup untuk pertanian. Alam sebetulnya sudah menyediakan segalanya. Revolusi berbekal sebatang jerami yang dilakukan Fukuoka menjadi sebenar-benarnya revolusi manakala unsur-unsur tersebut kembali diagungkan oleh manusia.