SEJARAH SHOLAWAT AL- BARJANJI
SEJARAH SHOLAWAT AL- BARJANJI
Nama
 Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh 
Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau 
adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama 
Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd 
Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil 
Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, 
Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh 
Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap 
Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
    
Kitab
 Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid
 yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan
 Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan 
non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara 
keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah
 Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai 
rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far 
Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 
di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 
Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, 
sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan 
Nabi saw.
Sejarah Pengarang Maulid AlBarzanji
Sayyid
 Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad 
saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari 
Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang
 terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau 
mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf
 dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’,
 banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat 
kebajikan bersedekah,dan pemurah.
Nama 
nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn 
Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid
 ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn 
Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa
 Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn 
Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa
 kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, 
dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi 
dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama 
dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf 
Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah 
menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani,
 Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul
 Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat,
 Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.
Syaikh
 Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang 
bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari 
cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi 
Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 
M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi 
fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara 
ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau 
telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah 
ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh 
Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, 
antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad 
At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa 
Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh
 Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi
 khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia 
tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, 
tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah 
sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Historisitas
 Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal 
peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi
 atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk 
membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang 
berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, 
yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita 
mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M 
tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil 
Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan 
dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam 
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu 
khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun 
hanya sebagai lambang persatuan spiritual.
Adalah
 Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa 
dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati 
rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590
 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun 
Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat 
kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah 
kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
 Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali 
dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin 
mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW,
 yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus 
dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu 
bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, 
Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, 
Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat 
Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan 
maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. 
Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi 
umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, 
bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Ketika
 Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni 
An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan 
Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua 
tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh 
jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera 
menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai 
tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid 
Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Pada
 mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman
 Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi
 menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan
 tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi 
hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang 
bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang 
terlarang.
Salah satu kegiatan yang di 
prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang 
pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara 
penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang 
seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti 
kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh 
Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid
 Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang 
positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. 
Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 
H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan 
Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab
 Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada 
Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat 
Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan 
prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, 
paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi 
adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul 
Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin 
Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar 
biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika 
masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. 
(5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan 
agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di 
Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam
 Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan 
banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang 
kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. 
Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya 
mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad 
dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana 
Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh.
 Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi 
Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi 
yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan
 akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar
 umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah 
dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing 
kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar 
Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, 
melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk
 memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. 
Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar 
Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di 
Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan 
teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, 
lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta 
kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada 
satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil 
sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, 
Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat 
tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak 
Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu 
menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi 
justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.
Bacaan
 shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan 
Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm 
‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh 
‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai 
Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian,
 apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian
 kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh
 Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui
 perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan 
tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna 
dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Sarjana 
Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad 
adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), ,
 menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa 
Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah 
kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. 
Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi,
 yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan 
dari masa ke masa.
Untaian syair itulah yang 
tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali 
Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di 
Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi 
bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung 
dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita 
sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat 
mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi
 Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan
 ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 
untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. 
Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat 
menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat 
tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang
 memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam
 untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya 
keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian 
Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” 
Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Di
 antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut 
dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, 
dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan 
disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar
 metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan
 sebagai “Untaian Mutiara”.
Betapapun, kita 
dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari 
perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut 
riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah
 nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian 
dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, 
sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah
 satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji 
adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya 
sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah 
ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan 
cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi 
Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini 
telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah 
Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat 
tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat 
yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah 
banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di 
samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. 
Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad 
‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab 
’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang 
ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari 
dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H
 / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama
 kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan 
penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail
 Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi 
turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan 
karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’.
 Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin 
bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada 
satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah 
bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar 
‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga 
adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga 
merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, 
antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail 
Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj
 ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis 
sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian 
nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi 
Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji 
dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby 
(dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih 
tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein 
(memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan 
suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu 
dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang 
dalam
Di berbagai belahan Dunia Islam, syair 
Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran 
Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan 
shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah 
keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak 
terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam
 bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan 
mencukur rambutnya.
Pada perkembangan 
berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai 
sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya 
pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, 
aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang
 yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya 
membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan 
kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan 
puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.
Kini
 peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul 
Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah 
(Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini
 amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan 
berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan
 masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan
 kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah 
masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di 
mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara 
besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para
 ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau 
perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah 
(bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan 
seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan 
umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan 
Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering 
membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.
Dalam
 ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: 
“Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di
 hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: 
“Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan 
menghidupkan Islam!”
 
